UU KEJAKSAAN PERLU PERUBAHAN KOMPREHENSIF

09-02-2011 / BADAN LEGISLASI

 

           Berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. UU ini perlu dilakukan perubahan secara komprehensif dengan membentuk undang-undang yang baru.

            Hal itu dikemukakan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Dimyati Natakusumah saat memimpin rapat dengar pendapat umum dengan para Pengamat Hukum, Rabu (9/2) di gedung DPR.

            Dimyati mengatakan, pembaharuan UU tentang Kejaksaan ini dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan yang harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun.

            Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.

            Oleh karena itu, katanya, perlu dilakukan penataan kembali terhadap kejaksaan untuk menyesuaikan perubahan-perubahan tersebut.

            Dimyati menambahkan, dalam menyusun RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ini, ada beberapa hal yang perlu diatur dan disempurnakan, antara lain bagaimana mewujudkan reformasi Kejaksaan RI agar sesuai dengan dinamika hukum dan tuntutan masyarakat.

            Selain itu, bagaimana kedudukan Kejaksaan RI sebagai lembaga negara di bidang kekuasaan kehakiman khususnya bidang penuntutan dalam mewujudkan intregated criminal justice system dan fungsi, tugas dan wewenang apa saja yang harus dimiliki Kejaksaan RI diatur dalam RUU ini.

            Tentunya, kata Dimyati, masih banyak hal-hal lainnya yang perlu disempurnakan dan masukan-masukan dari Pengamat Hukum ini sangat diperlukan untuk menambah penyempurnaan dari RUU dimaksud.

            RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI ini merupakan usul inisiatif DPR RI dan pembahasannya masuk dalam Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2011.

            Pada kesempatan tersebut, Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti Andi Hamzah mengatakan perlu adanya pemisahan fungsi teknis dan fungsi administratif dalam tubuh Kejaksaan. Menurut Andi, Jaksa Agung yang diangkat harus dari jaksa karir, karena orang inilah yang mengerti betul seluk beluk permasalahan di Kejaksaan.

            Andi juga mengingatkan, sebaiknya menyusun UU sesuai dengan kebutuhan, kepentingan nusa dan bangsa, bukan melihat keadaan sekarang.

            Sementara Pengamat Hukum dari Universitas Muhammadiyah Chairul Huda mengatakan, dia sependapat adanya pemisahan antara fungsi teknis dengan fungsi administratif, sehingga jaksa hanya mengurusi hal-hal teknis.

            Dengan demikian, kata Huda, bangunan kejaksaan akan berubah dalam arti tidak perlu ada Kejaksaan Tinggi, tetapi cukup Kantor Wilayah Kejaksaan. Karena sebenarnya yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penuntutan itu adanya di Kejaksaan Negeri. “Di sini perlu jaksa-jaksa yang hebat, bukan jaksa terbaik adanya di Kejaksaan Agung,” ujarnya.

            Menurut Huda, sekarang agak aneh jaksa pada Kejaksaan Agung bisa melakukan penuntutan, seolah-olah kekuasaannya itu seluruh Indonesia. Padahal mestinya terikat dengan kekuasaan kehakiman.

            “Jadi, disinilah yang harus diperkuat supaya tidak dipusingkan dengan hal-hal administratif,” tambahnya.

            Huda menambahkan, jenjang jabatan di Kejaksaan sekarang berdasarkan jenjang jabatan struktural, seperti Kepala Seksi, Kepala Bagian dan jenjang berikutnya. Sebenarnya jenjang bagi seorang jaksa itu sederhana dimulai dari Kepala Kejaksaan Negeri, Asisten Kejaksaan Tinggi, Kepala Kejaksaan Tinggi, Jaksa Agung Muda,  dan Jaksa Agung. “Inilah sebenarnya jenjang untuk jadi jaksa,” katanya.

            Dalam hal ini jenjang karir seorang jaksa berdasarkan jabatan fungsional bukan jabatan struktural.

            Dia juga sependapat bahwa Jaksa Agung harus dari Jaksa Karir, tidak bisa Jaksa Agung itu orang yang bukan jaksa, sehingga sudah terlatih dari bawah. Jangan sampai ada Jaksa Agung yang belum pernah menangani perkara sekali pun dia diangkat jadi jaksa.

            Jadi, katanya, banyak hal yang harus diperkuat posisi jaksa sebagai pemegang kekuasaan dalam teknis penuntutan.     Jaksa Agung juga perlu diberikan kewenangan secara eksplisit untuk melakukan penyidikan. Ketika diberikan kewenangan penyelidikan harus diatur juga bagaimana check and balancenya.

            Sementara menyinggung rekrutmen jaksa harus orang yang khusus direkrut sebagai jaksa. Sekarang ini, katanya banyak jaksa yang tadinya lulusan SMA dan melanjutkan kuliah malam di Fakultas Hukum yang kemudian jadi jaksa. Menurutnya, ini akan menjadi problem, seharusnya rekrutmen itu betul-betul orang yang direkrut untuk menjadi jaksa dengan persyaratan yang cukup ketat untuk bisa masuk ke dalam corps itu. Sehingga dari awal mereka paham mengenai profesional di bidang pekerjaannya.     

            Menurut Huda, yang terpenting lagi harus dihindari Jaksa Agung masuk dalam kancah tarik menarik kepentingan politik. Pertimbangan teknis ini harus terlepas dari kekuasaan eksekutif dan juga bukan menjadi tarik menarik kepentingan politik dalam parlemen.   

            Sementara Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Rudi Satrio mengatakan, kondisi yang ada sekarang menunjukkan masih lemahnya SDM di Kejaksaan terutama di level-leval kejaksaan. Menurutnya, dipoles sedikit saja orang sudah bisa menjadi jaksa.

            Menurut Rudi, dengan perkembangan masyarakat yang sudah sedemikian majunya seorang jaksa tidak cukup hanya berbekal Sarjana Hukum saja, dia harus Jaksa plus. “Untuk menangani korupsi, lingkungan hidup, masalah Perbankan dan lain-lain tidak cukup hanya dengan pengalaman, tapi harus pendidikan yang secara khusus untuk bidang-bidang tersebut,” ujarnya mengakhiri masukannya. (tt)/foto:iw/parle.

BERITA TERKAIT
Revisi UU Minerba, Demi Kemakmuran Rakyat dan Penambangan Berkelanjutan
25-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Badan Legislasi DPR RI, Edison Sitorus, menyampaikan pandangannya mengenai revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU...
RUU Minerba sebagai Revolusi Ekonomi untuk Masyarakat Bawah
23-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Aqib Ardiansyah menilai filosofi dasar dari penyusunan RUU tentang Perubahan Keempat...
RUU Minerba: Legislator Minta Pandangan PGI dan Ormas soal Keadilan Ekologi
23-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Muhammad Kholid mengapresiasi masukan yang disampaikan Persatuan Gereja Indonesia (PGI) terkait...
RUU Minerba Jadi Perdebatan, Baleg Tegaskan Pentingnya Mitigasi Risiko
23-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI, Mukri Friatna, menyatakan penolakan terhadap wacana perguruan tinggi diberikan hak mengelola tambang...